Tuesday, January 28, 2014

Rabu Abeh


“Ayah, adek manoe laot juet? Hana jeoh-jeoh adek jak, bak bineh laut mantong,” (ayah, adik mandi laut boleh ? gak jauh2 kok.. cuma di tepi pantai aja) pinta nadin kepada ayahnya.

“Juet, beu gadoh penyaket yang na bak tuboh,” (boleh, biar hilang penyakit yang ada di tubuh) jawab sang Ayah yang sedang sibuk mengaduk belanga kuah daging ayam.

Hari Rabu, 1 Januari 2014. Siang berawan hitam. Jarum jam tepat pada pukul 12:00 WIB. Puluhan warga berkumpul di bibir pantai. mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menyembelih ayam, menyediakan tungku api untuk memasak ayam dan nasi. Bumbu-bumbu dapur pun tak ketinggalan. Aroma harum menyerbak, datang dari tiap-tiap tenda milik warga.

Tiap tenda untuk satu keluarga. Mereka datang dari berbagai kampong kawasan Lhoong, Aceh Besar. Mulai dari kampong genteut, kampong tanoh anoe, dan juga kampong jantang yang menjadi tuan rumah untuk acara ritual ini, sebuah tradisi lama yang masih dilestarikan hingga kini oleh masyarakat yang terdiri dari 28 kampong ini.

“Istilah Rabu Abeh sering disebut sebuaah adat-istiadat, turun-temurun, dari nenek moyang. Biasanya setahun sekali memang diadakan. Tujuannya untuk tolak bala di pinggiran pantai. tepat pada bulan safar, Rabu akhir dipenghujung bulan,” Ungkap Tarmizi.

“Juga Rabu Abeh di sebut sebagai kanduri (syukuran) di pinggir pantai. Dengan syarat harus memotong ayam dan kambing. Bagi orang yang tidak mampu, boleh datang untuk mencicipi yang sudah disediakan,”tambah bapak 5 kepala ini.

Di dalam ‘buku Kalender Aceh Dalam Lintasan Kalender Dunia’ (Syamsuddin Daud Dan Badruzzaman Ismail), juga menjelaskan. “Keramaian di hari Rabu akhir ditandai dengan ramai-ramainya orang pergi kelaut untuk mandi ‘manoerabu abeh.’ Mereka pergi dengan semua anggota keluarga dan rombongan dari satu gampong. Selain mandi juga makan bersama di pantai ‘meuramin’ dengan lauk pauk yang beda dengan hari biasa. Sajian masakan daging kambing atau hewan yang disembelih dan dimasak ditempat itu menjadikan suasana menjadi ramai."

Sehari sebelum acara Rabu Abeh dilakukan, Ibu-Ibu di kampong biasanya membuat bubur kanji untuk disediakan di tempat-tempat orang rame, seperti di laut,dan juga di sawah. yang juga sebagian pencarian mereka nelayan dan petani.

“Kepercayaan masyarakat setempat pada zaman dahulu, prosesi Rabu Abeh seluruhnya harus diadakan di pinggir pantai, mulai dari memotong ayam, memasaknya, makan bersama, dan juga ada satu hal yang sangat di pantangkan, yaitu kalau membawa pulang sisa makanan, itu sama juga seperti kita mengundang penyakit.” Ujar bapak yang mengenakan baju koko coklat muda. 

Dia juga menambahkan. “ seiring dengan perkembangan zaman, nilai kepercayaan pun bergeser dari yang dahulunya seluruh prosesi harus dilakukan di pantai, namun sekarang sebagian prosesenya seperti memasak boleh dilakukan di rumah. Baru kemudian di bawa kelaut. Setelah makan bersama , siapa yang mau mandi, di bolehkan, dengan niat untuk menghilangkan selaga penyakit yang ada di dalam tubuh.”

Kampong Jantang merupakan salah satu desa yang yang paling parah terkena bencana tsunami 2004 silam. Namun, tidak membuat masyarakat setempat melupakan sebuah adat yang sudah di tanam oleh nenek moyang dahulu.

“Sebenarnya ikut acara ini hanya sekedar ikut gembira aja bersama keluarga. apalagi acara ini setahun sekali.  anak kecilkan senangnya bermain laut, jadi para orang tuanya makan-makan.  Siap masak lalu di bawa kesini, karena dari dulu tidak ada yang membuat acara ini di rumah. Dari dulu acara ini di terjemahkan dengan tolak bala. tapi bukan itu, mana sanggup kita tolak bala. Bala itu kan Allah yang memberi, dan Allah juga yang menolak, jadi kita disini hanya berdoa dan kanduri untuk anak yatim.”jelas Fitria salah satu warga jantang.

Suasana ramai namun khidmat. Terlihat, anak-anak mulai bercengkrama bersama teman-teman di dalam laut, ibu-ibu sibuk menghidangkan lauk-pauk yang sudah selesai dimasaknya.

Para kaum bapak juga terlihat ramai memasuki balai kecil yang terletak di pinggir pantai, yang biasanya di gunakan untuk shalat, tapi khusus pada hari Rabu Abeh digunakan sebagai tempat tengku beserta tetua dan sesepuh kampong untuk makan dan berdoa bersama.

Hujan pun mulai membahasahi setiap tenda-tenda yang berjejeran di tepi pantai jantang.  Desiran ombak makin riuh, beserta tiupan angin. Bersamaan datangnya hujan, alunan doa pun dihentikan.

“Walapun hujan turun, kami tidak akan pulang sebelum acara ini selesai,” Ujar Suryani istri dari Tarmizi.

Monday, January 20, 2014

Disitu Final, Disitu Belajar.

Mahasiswa tidak luput dari yang namanya final. Mulai yang openbook, takehome, hingga hingga yang berkeringat dingin.

Ditambah fenomena cuaca yang terjadi selama ini. Dari yang membeku berubah menjadi cair. Memang sesuatau itu tidak bisa kita tebak. Terkadang kita selalu berfikir, tebakan kita semuanya benar, nyatanya salah..

Namun cuaca tidak menjadi masalah dalam kehidupan mahasiswa. Walaupun kebanyakan dari mereka banyak yang tumbang karena berubahan cuaca. Karena yang di pikirkan adalah kapan mata kuliah ini berakhir dan mendapatkan nilai yang memuaskan.

Semua mahasiswa mengharapkan nilai bagus, tidak ada yang mengharapka nilai yang jelek. Tapi,  mari kita kembali merenungi dan memikirkan, apa yang sebenarnya yang kita lakukan, sebelum menghadapi soal-soal final. Saya yakin semua jawabannya ada di pikiran kita masing-masing.

Kiriman ilahi (ngontekan) itu tidak menjamin nilai kita bagus. Nilai bagus itu terjamin dari seberapa kuat usaha kita.  Tidak hanya usaha, tapi juga diiringi dengan doa. Itu baru dikatakan nilai yang memuaskan.

Ada juga sebahagian orang. Mereka sudah berusaha dan berdoa, namun masih juga di berikan kesulitan dalam memahami mata kuliah yang diajarkan. Maka, janganlah berputus asa. Berarti segitulah usaha kita, segitulah kemampuan kita. Tapi saya yakin, apabila selalu di asah, dan terus di asah, saya yakin anda akan mendapatkan kesuksesan itu.

Usaha yang diiringi dengan doa, akan menghasilkan kesuksesan. Kesuksesan akan menjadi sebuah kebanggaan bagi kita sendiri, dan juga kebanggaan bagi orang tua kita.

Jangan mencari payung di saat hujan turun.
Jangan mencari buku di saat ujian final menghampiri.
Tapi, cobala mempersiapkan sesuatu sebelum hal itu terjadi. 



Sunday, December 29, 2013

Perkenalan "Pena Dan Kertas"



Aku menyelusuri jalan gelap dengan derasnya hujan tiada henti. Dengan kepiluan semata, memikirkan apa yang harus kulakukan, akan kepergian tahun yang mempertemukan kita.

Tidak ada yang tau kalau sebenarnya kita mampu. Mereka hanya melihat kita dengan sebelah mata, yang hanya terdampar dalam kegelapan yang tak bercahaya. Kamu dan aku memang sejalan, namun kita sulit untuk bersama.

aku ingin merajut benang kenangan bersamamu. Benang putih, namun bertinta hitam yang ingin ku lingkarkan diseluruh badanmu. Tanpa kamu sadari, aku telah menumbuhkan akar ketulusan di dalamnya,  dan tanpa kamu sadari, aku telah menumbuhkan benih keseriusan di setiap juru kehidupanmu.

Aku terlalu takut saat memilih berkenalan denganmu. Tapi aku harus, aku harus berkenalan denganmu. Karena  kamu yang akan membawaku dalam kehidupan yang nyata. Mungkin selama ini aku lagi bermimpi. Bermimpi untuk menemukan apa itu kehidupan. 

Aku lemah, aku sendiri, dan aku selalu terjatuh.  Namun, di saat aku membuka mata, aku menyadari, bahwa masih ada kamu yang akan meraih tanganku yang lemah ini.  Kau menyambutku dengan hangat, namun aku sendiri yang terlalu takut untuk bangkit dari kelemahan.

Aku belajar darimu, belajar untuk tetap menahan semua keunekan yang mereka lontarkan. Kamu memang kusut, aku terbuaia dengan kusutanmu. Kusutan yang menbuatku ingin merapikannya, kata-kata yang indah itu membuat tubuhmu menjadi lebih berarti.

Apakah kamu siap untuk bersanding mesra bersama ku di atas ayun? Aku ingin membawamu bersamaku disetiap waktu.  Kata “pisah” tidak akan pernah terlontar dari mulutku. Walaupun mereka mencaci maki kita, kita hanya bisa memcoba dan terus mencoba. hingga akhirnya,  mereka sadar, kalau ternyata dunia merestuai hubungan suci kita.

Januari sudah diambang pintu. Masa lalu tertanam hujan yang berguyur di akhir tahun 2013. Masa lalu tak harus dikenang, namun kamu yang harus kukenang. Karena kita akan memulai sebuah hubungan, hubungan antara kamu dan aku. Mari kita sampaikan kepada semua orang, kalau kita tidak selalu seperti debu yang terus beterbangan tanpa ada tujuan.

Kita ada tujuan. Tujuan kita adalah memberi tau, kalau kita memang bisa. Tidak ada kata tidak bisa sebelum kita memulainya. 

Aku dan kamu menjadi kita. Kertas dan pena menjadi tulisan. tulisan akan indah apa bila kertas dan pena berkenalan. Perkenalan itu belum terlambat  menuju gerbang kehidupan kebahagiaan.




Friday, November 22, 2013

Aku Dan Kata-Kata

Aku mengenalmu dengan kata-kata.
Kata-kata yang selalu kamu ucapkan.
Aku mengenalmu dengan cara.
Cara yang kamu lakukan saat bersamaku.

Aku sadar...
Mungkin itu caramu mendekatiku.
Aku sadar...
Mungkin itu caramu mengenalku.

Tapi, apakah kamu sadar sayang?
Hatiku jatuh lebih dari yang kamu tau.

Aku..
Kamu..
Kita..
Tetap berada dalam coretan yang sama.
Dalam buku yang sama.
Dan dalam doa yang sama.

Sunday, October 27, 2013

Segitiga Sama Sisi

Matamu selalu memandangnya.
Mataku selalu memandangmu.
Hatimu selalu ada namanya.
Dan dihatiku selalu ada namamu.

Malamku dengan malammu berbeda.
Malammu  dengan malamnya begitu sama.
Aku melihatmu dengan keberadaannya.
Tapi diriku tidak terlihat di belakangnya.

Cintamu dengan cintanya begitu indah.
Seindah keinginanku bersamamu.
Aku melihatnya bagaikan permaisuri di hatimu.
Kamu selalu melihatnya, tapi dia tidak pernah melihatmu.

Cinta kita bersemi bagaikan segitiga sama sisi.
Disetiap sisi memiliki nilai yang sama.
Tapi, berbeda dengan sisi dihati kita.
yaitu CINTA.

Aku mencintaimu.
kamu mencintainya.
Dan dia mencintai orang lain.
Cinta yang tidak pernah bisa disatukan.
Tapi cinta selalu diperjuangkan.




Saturday, October 26, 2013

gelang pengingkar janji

Gelang yang terletak diantara kotak pensil dan album foto di atas meja belajarku. Warnanya putih dihiasi mutiara-mutiara kecil disekelilingnya. Aku meraihnya dengan cepat dari tempatnya bersembunyi, “Begitu cantiknya gelang ini.” Gumamku. 

Tapi sayangnya aku bukanlah orang yang suka memakai gelang.
“Kenapa kamu tidak suka memakai gelang, bukankah setiap cewek sangat suka memakai aksesoris yang satu ini?” mereka sering bertanya kepadaku. Aku sendiri bingung kenapa tidak menyukainya.

 Teringat sama kata-kata abang letingku di SMA dulu, dia pernah bilang.

“Kamu adalah seorang gadis yang begitu feminim, tapi enggak suka memakai gelang dan itu terlihat sangat lucu sekali.”

Dan aku hanya tersenyum terhadapnya, tanpa membantah sepatah pun terhadap komentar itu. Ya sekitar 2 tahun silam, dimana aku sendiri masih merasa belum sangat mengerti tentang fashion.

Beberapa hari yang lalu, teman perempuanku datang kerumah. Dia membawa oleh-oleh dari Jakarta, untuk aku pastinya. Dengan senang hati aku menerima bingkisan itu. Berharap itu adalah oleh-oleh yang selama ini aku inginkan darinya. Tanpa menunggu lama, aku membuka bingkisan itu. Seketika raut jawahku berubah, setelah melihat isi bingkisannya.

 “Oh dear, ternyata sebuah kotak gelang,” pikirku saat itu. Ternyata temanku mengerti sekali bahasa non verbalku.
“Maaf Mil, aku tau kamu pasti enggak suka dengan gelang, tapi nggak salahkan kamu mencobanya?” ujarnya. 

“Cantik kok menurut aku.” Tambahnya lagi.

 Aku melotot seraya berkata, “Kamu yakin fridaaaa?”

Dan dia hanya mengangkat bahu sambil melihat kearahku mataku saat itu.

Aku heran dengan mereka. Sudah tau aku sangat tidak suka sama aksesoris yang satu ini. Tapi malah benda itu terus yang di kasihnya. 

“Begitu inginkah mereka melihatku memakai gelang?” konyol sekali keinginan mereka pikirku. 

“Apa sih menariknya memakai gelang, perasaan biasa ajalah,” menurutku.

 Tanpa aku sadari, ternyata kakakku adalah seorang gadis juga, ia sangat suka memakai gelang. Berbagai macam koleksi gelang dia miliki, termasuk gelang yang pertama kali di belikan oleh ibu waktu kecil, ia masih menyimpannya dengan baik.

 “Apa yang buat Anda (panggilan kakak orang aceh besar) suka memakai gelang?” tanyaku di sore itu. 

 Jawabannya simple sekali. “Biar pede aja.” Aku ketawa mendengarnya.

 “Emang Anda kurang pede ya selama ini?” Tanyaku lagi. 

“Bukan kurang pede sih, kalau udah pakek gelang terasa udah cantik aja gitu, namanya juga cewek.” Jawaban yang mentel sekali. 

Dan aku mulai mikir, “apa iya begitu, kalau cewek pakai gelang, sudah terlihat cantik?”
 
Keesokan malamnya aku meng-sms Adun (panggilang untuk abang angkatku). 

“Kenapa Adun suka pakek gelang?” tanyaku
 Tidak lama kemudian, deringan ponselku menyalak. Rupanya balasan dari Adun, bergegas aku membacanya.
“Supaya terlihat nakal saja,” balasnya.
“Itu alasannya, Dun?” balasku lagi.
“Iya, itu aja!!!” balasan terakhir. 

Ternyata setiap orang punya alasan tersendiri. Dan sekarang aku bertanya sama diriku sendiri. 

“Apa alasanku untuk tidak suka memakai gelang?” Baik aku akan memperjelasnya sekarang. 

“Dulu, seorang bocah yang masih berumur 5 tahun sangat suka terhadap gelang. Pada suatu hari, dia diajak ibunya ke toko emas untuk membeli cincin. Sesampai disana, seorang bocah melihat sebuah gelang yang sangat indah sekali, karena diatasnya terukir huruf M. 

“Mamak, adek mau yang itu, yang ada nama adek,” bocah itu meminta ibunya membeli gelang yang ditunjuknya. 

Tapi sang ibu hanya sibuk memilih cincin tanpa peduli terhadap rengekan anaknya. Dan bocah itu mengulangnya lagi sambil menarik tangan ibunya.

“Mamak, adek mau gelang yang ada nama adek itu.” 

ibunya sekarang menjawab, “Kita beli cincinya dulu iya? Besoknya baru kita beli gelangnya.” Dengan senangnya bocah ini memeluk ibunya. 

Hari, bulan, dan tahun-tahunpun terlewati begitu saja, bocah yang sudah berumur 11 tahun ini merasa ibunya tidak menepati janji terhadap anak bungsunya. Dan pada saat itulah bocah yang sangat masih kecil itu sudah berkomitmen terhadap dirinya sendiri. Dia berjanji untuk tidak memakai gelang, sebelum ibunya sendiri yang membelikan gelang itu untuknya. Sampai akhir ibunya berpulang kepangkuan rabbi, janji itu belum juga di tepati kepada anak bungsunya.

 Oleh sebab itulah, kenapa seorang anak gadis yang sekarang berumur 19 tahun belum pernah memakai gelang, dia masih berkomitmen dengan ucapanya saat masih berumur 11 tahun. Mungkin itu hanya sebuah ucapan bocah, tapi entah kenapa aku belum pernah melanggarnya janji itu.

 Mungkin suatu saat janji itu aku langgar, dimana ada seseorang yang begitu dekat dengan diriku yang membelinya, ya mungkin dia kakakku sendiri. Karena dia adalah sesosok ibu dalam hidupku sekarang.

Ternyata apa yang aku harapkan jadi kenyataan. Tanggal 19 Oktober 2013, aku dibelikan sebuah gelang oleh kakakku. Aku ngerasa janji ibuku dulu terpenuhi sekarang, walaupun tanpa ukiran nama dan sama persis yang aku inginkan dulu, namun aku begitu bahagia dengan hadiah ini. 

Di hari itu juga aku mulai memakai gelang untuk pertama kalinya.

 “Terima kasih Anda-ku.” Aku berterima kasih seraya memeluk kakakku dimalam itu. 

Ternyata benar seperti orang bilang. “Seorang cewek akan terlihat cantik bila memakai gelang.” Aku memerhatikan tanganku sendiri.

 “Cantik juga tanganku rupanya.” Ucapku pada diri sendiri sambil tersenyum sipu melihat sebuah gelang menghiasi tangan mungilku saat ini.


Gelang pengingkar Janji



Gelang yang terletak diantara kotak pensil dan album foto di atas meja belajarku. Warnanya putih dihiasi mutiara-mutiara kecil disekelilingnya. Aku meraihnya dengan cepat dari tempatnya bersembunyi, “Begitu cantiknya gelang ini.” Gumamku. Tapi sayangnya aku bukanlah orang yang suka memakai gelang. “Kenapa kamu tidak suka memakai gelang, bukankah setiap cewek sangat suka memakai aksesoris yang satu ini?” mereka sering bertanya kepadaku. Aku sendiri bingung kenapa tidak menyukainya. Teringat sama kata-kata abang letingku di SMA dulu, dia pernah bilang, “Kamu adalah seorang gadis yang begitu feminim, tapi enggak suka memakai gelang dan itu terlihat sangat lucu sekali.” Dan aku hanya tersenyum terhadapnya, tanpa membantah sepatah pun terhadap komentar itu. Ya sekitar 2 tahun silam, dimana aku sendiri masih merasa belum sangat mengerti tentang fashion.

Beberapa hari yang lalu, teman perempuanku datang kerumah. Dia membawa oleh-oleh dari Jakarta, untuk aku pastinya. Dengan senang hati aku menerima bingkisan itu. Berharap itu adalah oleh-oleh yang selama ini aku inginkan darinya. Tanpa menunggu lama, aku membuka bingkisan itu. Seketika raut jawahku berubah, setelah melihat isi bingkisannya.
 “Oh dear, ternyata sebuah kotak gelang,” pikirku saat itu. Ternyata temanku mengerti sekali bahasa non verbalku.
 “Maaf mil, aku tau kamu pasti enggak suka dengan gelang, tapi nggak salahkan kamu mencobanya?” ujarnya. “Cantik kok menurut aku.” Tambahnya lagi. Aku melotot seraya berkata, “Kamu yakin fridaaaa?”
Dan dia hanya mengangkat bahu sambil melihat kearahku mataku saat itu.

Aku heran dengan mereka. Sudah tau aku sangat tidak suka sama aksesoris yang satu ini. Tapi malah benda itu terus yang di kasihnya. “Begitu inginkah mereka melihatku memakai gelang?” konyol sekali keinginan mereka pikirku. “apa sih menariknya memakai gelang, perasaan biasa ajalah,” menurutku. Tanpa aku sadari, ternyata kakakku adalah seorang gadis juga, ia sangat suka memakai gelang. Berbagai macam koleksi gelang dia miliki, termasuk gelang yang pertama kali di belikan oleh ibu waktu kecil, ia masih menyimpannya dengan baik.
 “Apa yang buat Anda (panggilan kakak orang aceh besar) suka memakai gelang?” tanyaku di sore itu.
Jawabannya simple sekali, “Biar pede aja.” Aku ketawa mendengarnya, “Emang Anda kurang pede ya selama ini?” Tanyaku lagi. “Bukan kurang pede sih, kalau udah pakek gelang terasa udah cantik aja gitu, namanya juga cewek.” Jawaban yang mentel sekali. Dan aku mulai mikir, “apa iya begitu, kalau cewek pakai gelang, sudah terlihat cantik?”
Keesokan malamnya aku meng-sms Adun (panggilang untuk abang angkatku). “Kenapa Adun suka pakek gelang?” tanyaku
 Tidak lama kemudian, deringan ponselku menyalak. Rupanya balasan dari Adun, bergegas aku membacanya,
“Supaya terlihat nakal saja,” balasnya
“Itu alasannya, Dun?” balasku lagi.
“Iya, itu aja!!!” balasan terakhir. 

Ternyata setiap orang punya alasan tersendiri. Dan sekarang aku bertanya sama diriku sendiri, “Apa alasanku untuk tidak suka memakai gelang?” Baik aku akan memperjelasnya sekarang. “Dulu, seorang bocah yang masih berumur 5 tahun sangat suka terhadap gelang. Pada suatu hari, dia diajak ibunya ke toko emas untuk membeli cincin. Sesampai disana, seorang bocah melihat sebuah gelang yang sangat indah sekali, karena diatasnya terukir huruf M. “Mamak, adek mau yang itu, yang ada nama adek,” bocah itu meminta ibunya membeli gelang yang ditunjuknya. Tapi sang ibu hanya sibuk memilih cincin tanpa peduli terhadap rengekan anaknya. Dan bocah itu mengulangnya lagi sambil menarik tangan ibunya, “Mamak, adek mau gelang yang ada nama adek itu,” ibunya sekarang menjawab, “Kita beli cincinya dulu iya? Besoknya baru kita beli gelangnya.” Dengan senangnya bocah ini memeluk ibunya. Hari, bulan, dan tahun-tahunpun terlewati begitu saja, bocah yang sudah berumur 11 tahun ini merasa ibunya tidak menepati janji terhadap anak bungsunya. Dan pada saat itulah bocah yang sangat masih kecil itu sudah berkomitmen terhadap dirinya sendiri. Dia berjanji untuk tidak memakai gelang, sebelum ibunya sendiri yang membelikan gelang itu untuknya. Sampai akhir ibunya berpulang kepangkuan rabbi, janji itu belum juga di tepati kepada anak bungsunya. Oleh sebab itulah, kenapa seorang anak gadis yang sekarang berumur 19 tahun belum pernah memakai gelang, dia masih berkomitmen dengan ucapanya saat masih berumur 11 tahun.” Mungkin itu hanya sebuah ucapan bocah, tapi entah kenapa aku belum pernah melanggarnya janji itu. Mungkin suatu saat janji itu aku langgar, dimana ada seseorang yang begitu dekat dengan diriku yang membelinya, ya mungkin dia kakakku sendiri. Karena dia adalah sesosok ibu dalam hidupku sekarang.

Ternyata apa yang aku harapkan jadi kenyataan. Tanggal 19 Oktober 2013, aku dibelikan sebuah gelang oleh kakakku. Aku ngerasa janji ibuku dulu terpenuhi sekarang, walaupun tanpa ukiran nama dan sama persis yang aku inginkan dulu, namun aku begitu bahagia dengan hadiah ini.  Di hari itu juga aku mulai memakai gelang untuk pertama kalinya, “Terima kasih Anda-ku.” Aku berterima kasih seraya memeluk kakakku dimalam itu. Ternyata benar seperti orang bilang, “Seorang cewek akan terlihat cantik bila memakai gelang.” Aku memerhatikan tanganku sendiri, “Cantik juga tanganku rupanya.” Ucapku pada diri sendiri sambil tersenyum sipu melihat sebuah gelang menghiasi tangan mungilku saat ini.