Tuesday, January 28, 2014

Rabu Abeh


“Ayah, adek manoe laot juet? Hana jeoh-jeoh adek jak, bak bineh laut mantong,” (ayah, adik mandi laut boleh ? gak jauh2 kok.. cuma di tepi pantai aja) pinta nadin kepada ayahnya.

“Juet, beu gadoh penyaket yang na bak tuboh,” (boleh, biar hilang penyakit yang ada di tubuh) jawab sang Ayah yang sedang sibuk mengaduk belanga kuah daging ayam.

Hari Rabu, 1 Januari 2014. Siang berawan hitam. Jarum jam tepat pada pukul 12:00 WIB. Puluhan warga berkumpul di bibir pantai. mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menyembelih ayam, menyediakan tungku api untuk memasak ayam dan nasi. Bumbu-bumbu dapur pun tak ketinggalan. Aroma harum menyerbak, datang dari tiap-tiap tenda milik warga.

Tiap tenda untuk satu keluarga. Mereka datang dari berbagai kampong kawasan Lhoong, Aceh Besar. Mulai dari kampong genteut, kampong tanoh anoe, dan juga kampong jantang yang menjadi tuan rumah untuk acara ritual ini, sebuah tradisi lama yang masih dilestarikan hingga kini oleh masyarakat yang terdiri dari 28 kampong ini.

“Istilah Rabu Abeh sering disebut sebuaah adat-istiadat, turun-temurun, dari nenek moyang. Biasanya setahun sekali memang diadakan. Tujuannya untuk tolak bala di pinggiran pantai. tepat pada bulan safar, Rabu akhir dipenghujung bulan,” Ungkap Tarmizi.

“Juga Rabu Abeh di sebut sebagai kanduri (syukuran) di pinggir pantai. Dengan syarat harus memotong ayam dan kambing. Bagi orang yang tidak mampu, boleh datang untuk mencicipi yang sudah disediakan,”tambah bapak 5 kepala ini.

Di dalam ‘buku Kalender Aceh Dalam Lintasan Kalender Dunia’ (Syamsuddin Daud Dan Badruzzaman Ismail), juga menjelaskan. “Keramaian di hari Rabu akhir ditandai dengan ramai-ramainya orang pergi kelaut untuk mandi ‘manoerabu abeh.’ Mereka pergi dengan semua anggota keluarga dan rombongan dari satu gampong. Selain mandi juga makan bersama di pantai ‘meuramin’ dengan lauk pauk yang beda dengan hari biasa. Sajian masakan daging kambing atau hewan yang disembelih dan dimasak ditempat itu menjadikan suasana menjadi ramai."

Sehari sebelum acara Rabu Abeh dilakukan, Ibu-Ibu di kampong biasanya membuat bubur kanji untuk disediakan di tempat-tempat orang rame, seperti di laut,dan juga di sawah. yang juga sebagian pencarian mereka nelayan dan petani.

“Kepercayaan masyarakat setempat pada zaman dahulu, prosesi Rabu Abeh seluruhnya harus diadakan di pinggir pantai, mulai dari memotong ayam, memasaknya, makan bersama, dan juga ada satu hal yang sangat di pantangkan, yaitu kalau membawa pulang sisa makanan, itu sama juga seperti kita mengundang penyakit.” Ujar bapak yang mengenakan baju koko coklat muda. 

Dia juga menambahkan. “ seiring dengan perkembangan zaman, nilai kepercayaan pun bergeser dari yang dahulunya seluruh prosesi harus dilakukan di pantai, namun sekarang sebagian prosesenya seperti memasak boleh dilakukan di rumah. Baru kemudian di bawa kelaut. Setelah makan bersama , siapa yang mau mandi, di bolehkan, dengan niat untuk menghilangkan selaga penyakit yang ada di dalam tubuh.”

Kampong Jantang merupakan salah satu desa yang yang paling parah terkena bencana tsunami 2004 silam. Namun, tidak membuat masyarakat setempat melupakan sebuah adat yang sudah di tanam oleh nenek moyang dahulu.

“Sebenarnya ikut acara ini hanya sekedar ikut gembira aja bersama keluarga. apalagi acara ini setahun sekali.  anak kecilkan senangnya bermain laut, jadi para orang tuanya makan-makan.  Siap masak lalu di bawa kesini, karena dari dulu tidak ada yang membuat acara ini di rumah. Dari dulu acara ini di terjemahkan dengan tolak bala. tapi bukan itu, mana sanggup kita tolak bala. Bala itu kan Allah yang memberi, dan Allah juga yang menolak, jadi kita disini hanya berdoa dan kanduri untuk anak yatim.”jelas Fitria salah satu warga jantang.

Suasana ramai namun khidmat. Terlihat, anak-anak mulai bercengkrama bersama teman-teman di dalam laut, ibu-ibu sibuk menghidangkan lauk-pauk yang sudah selesai dimasaknya.

Para kaum bapak juga terlihat ramai memasuki balai kecil yang terletak di pinggir pantai, yang biasanya di gunakan untuk shalat, tapi khusus pada hari Rabu Abeh digunakan sebagai tempat tengku beserta tetua dan sesepuh kampong untuk makan dan berdoa bersama.

Hujan pun mulai membahasahi setiap tenda-tenda yang berjejeran di tepi pantai jantang.  Desiran ombak makin riuh, beserta tiupan angin. Bersamaan datangnya hujan, alunan doa pun dihentikan.

“Walapun hujan turun, kami tidak akan pulang sebelum acara ini selesai,” Ujar Suryani istri dari Tarmizi.

1 comment:

  1. rabu abeh ? baru tau ini .
    makasii infonya .
    oia, kalo bisa, verifikasi pas koment dihilangkan aja. susah ntar buat komen(Cuma masukan kok :) )
    koment balik : http://musikanegri.blogspot.com

    ReplyDelete