“Ayah, adek manoe laot juet? Hana
jeoh-jeoh adek jak, bak bineh laut mantong,” (ayah, adik mandi
laut boleh ? gak jauh2 kok.. cuma di tepi pantai aja) pinta nadin kepada
ayahnya.
“Juet, beu gadoh
penyaket yang na bak tuboh,” (boleh, biar hilang penyakit yang ada di tubuh)
jawab sang Ayah yang sedang sibuk mengaduk belanga kuah daging ayam.
Hari Rabu, 1
Januari 2014. Siang berawan hitam. Jarum jam tepat pada pukul 12:00 WIB. Puluhan
warga berkumpul di bibir pantai. mereka sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada
yang menyembelih ayam, menyediakan tungku api untuk memasak ayam dan nasi. Bumbu-bumbu
dapur pun tak ketinggalan. Aroma harum menyerbak, datang dari tiap-tiap tenda milik
warga.
Tiap tenda untuk
satu keluarga. Mereka datang dari berbagai kampong kawasan Lhoong, Aceh Besar. Mulai
dari kampong genteut, kampong tanoh anoe, dan juga kampong jantang yang menjadi
tuan rumah untuk acara ritual ini, sebuah tradisi lama yang masih dilestarikan
hingga kini oleh masyarakat yang terdiri dari 28 kampong ini.
“Istilah Rabu
Abeh sering disebut sebuaah adat-istiadat, turun-temurun, dari nenek moyang. Biasanya
setahun sekali memang diadakan. Tujuannya untuk tolak bala di pinggiran pantai.
tepat pada bulan safar, Rabu akhir dipenghujung bulan,” Ungkap Tarmizi.
“Juga Rabu Abeh
di sebut sebagai kanduri (syukuran) di pinggir pantai. Dengan syarat harus memotong
ayam dan kambing. Bagi orang yang tidak mampu, boleh datang untuk mencicipi
yang sudah disediakan,”tambah bapak 5 kepala ini.
Di dalam ‘buku Kalender Aceh Dalam Lintasan Kalender Dunia’
(Syamsuddin Daud Dan Badruzzaman Ismail), juga menjelaskan. “Keramaian di
hari Rabu akhir ditandai dengan ramai-ramainya orang pergi kelaut untuk mandi ‘manoerabu
abeh.’ Mereka pergi dengan semua anggota keluarga dan rombongan dari satu
gampong. Selain mandi juga makan bersama di pantai ‘meuramin’ dengan lauk pauk
yang beda dengan hari biasa. Sajian masakan daging kambing atau hewan yang
disembelih dan dimasak ditempat itu menjadikan suasana menjadi ramai."
Sehari sebelum
acara Rabu Abeh dilakukan, Ibu-Ibu di kampong biasanya membuat bubur kanji
untuk disediakan di tempat-tempat orang rame, seperti di laut,dan juga di
sawah. yang juga sebagian pencarian mereka nelayan dan petani.
“Kepercayaan
masyarakat setempat pada zaman dahulu, prosesi Rabu Abeh seluruhnya harus
diadakan di pinggir pantai, mulai dari memotong ayam, memasaknya, makan
bersama, dan juga ada satu hal yang sangat di pantangkan, yaitu kalau membawa
pulang sisa makanan, itu sama juga seperti kita mengundang penyakit.” Ujar bapak
yang mengenakan baju koko coklat muda.
Dia juga
menambahkan. “ seiring dengan perkembangan zaman, nilai kepercayaan pun
bergeser dari yang dahulunya seluruh prosesi harus dilakukan di pantai, namun
sekarang sebagian prosesenya seperti memasak boleh dilakukan di rumah. Baru kemudian
di bawa kelaut. Setelah makan bersama , siapa yang mau mandi, di bolehkan,
dengan niat untuk menghilangkan selaga penyakit yang ada di dalam tubuh.”
Kampong Jantang
merupakan salah satu desa yang yang paling parah terkena bencana tsunami 2004
silam. Namun, tidak membuat masyarakat setempat melupakan sebuah adat yang
sudah di tanam oleh nenek moyang dahulu.
“Sebenarnya ikut
acara ini hanya sekedar ikut gembira aja bersama keluarga. apalagi acara ini
setahun sekali. anak kecilkan senangnya
bermain laut, jadi para orang tuanya makan-makan. Siap masak lalu di bawa kesini, karena dari
dulu tidak ada yang membuat acara ini di rumah. Dari dulu acara ini di
terjemahkan dengan tolak bala. tapi bukan itu, mana sanggup kita tolak bala. Bala
itu kan Allah yang memberi, dan Allah juga yang menolak, jadi kita disini hanya
berdoa dan kanduri untuk anak yatim.”jelas Fitria salah satu warga jantang.
Suasana ramai
namun khidmat. Terlihat, anak-anak mulai bercengkrama bersama teman-teman di
dalam laut, ibu-ibu sibuk menghidangkan lauk-pauk yang sudah selesai
dimasaknya.
Para kaum bapak
juga terlihat ramai memasuki balai kecil yang terletak di pinggir pantai, yang
biasanya di gunakan untuk shalat, tapi khusus pada hari Rabu Abeh digunakan
sebagai tempat tengku beserta tetua dan sesepuh kampong untuk makan dan berdoa
bersama.
Hujan pun mulai
membahasahi setiap tenda-tenda yang berjejeran di tepi pantai jantang. Desiran ombak makin riuh, beserta tiupan
angin. Bersamaan datangnya hujan, alunan doa pun dihentikan.
“Walapun hujan
turun, kami tidak akan pulang sebelum acara ini selesai,” Ujar Suryani istri
dari Tarmizi.